Monday, 29 April 2013

Self Leadership


Setiap orang punya potensi menjadi pemimpin. Asalkan ada kemauan dan mau belajar, jiwa kepemimpinan dapat diperoleh melalui serangkaian pengalaman. Bagaimana bila harus memimpin diri sendiri? Kenyataannya memimpin diri sendiri (self leadership) tidaklah mudah. Memahami karakter orang lain mungkin tidak jadi masalah, namun jika harus memahami diri sendiri terkadang seseorang mengalami cukup kesulitan. Jika sudah demikian, kuncinya tentu adalah kejujuran terhadap kekurangan dan kekuatan yang ada dalam diri kita masing-masing. Self leadership adalah proses mempengaruhi diri sendiri untuk menetapkan tujuan dan memotivasi diri yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Selfleadership seseorang akan mempengaruhi sikap mentalnya dalam melakukan pekerjaan dan penanaman nilai-nilai diri. Self leadership merupakan dasar dari segala bentuk kepemimpinan. Kepemimpinan diri berarti juga self discipline yang berarti menegakkan disiplin atas diri sendiri.

Untuk memimpin diri sendiri, seseorang harus memiliki 3 keterampilan yaitu:
1. Melawan asumsi pembatas.
Asumsi pembatas adalah keyakinan yang dimiliki seseorang yang didasari pengalaman masa lalu yang membatasi pengalaman masa kini dan akan datang. Contoh, waktu kecil A pernah jatuh dari sepeda. Lukanya cukup parah hingga membuatnya trauma. Inilah titik di mana A tidak mau naik sepeda lagi. Ia merasa tidak memiliki kemampuan mengendarai sepeda karena pernah jatuh dan terluka. Di pekerjaan juga demikian. Seseorang yang pernah gagal menjalankan suatu tugas menganggap itu sebagai bentuk ketidakmampuannya sehingga ia beranggapan akan gagal lagi bila harus kembali menjalankan tugas yang sama.
Bagaimana cara melawan asumsi pembatas tersebut? Pada pinisipnya, keterbatasan bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah kita berpikir hal-hal itu adalah satu-satunya sumber kekuatan yang tersedia bagi kita. Lalu bagaimana hubungannya dengan karakter?
Setiap orang punya karakternya sendiri-sendiri yang bisa disebut sebagai sebuah kelemahan. Misalnya pribadi yang tertutup (introvert), pemarah (hightemper), pelupa, dan sebagainya. Apabila tidak berusaha keluar dari kelemahan tersebut, itu akan selalu menjadi asumsi pembatas yang menghalanginya menjadi pribadi lebih baik. Tapi bila ia berusaha ‘keluar’ dari kekurangan tersebut semaksimal mungkin, itu tidak lagi menjadi asumsi pembatas.
2. Mensyukuri kekuatan diri
Ada 5 kekuatan diri yang sebetulnya dapat dimanfaatkan setiap orang untuk mencapai tujuannya. Kelima kekuatan tersebut adalah:
a.       Kekuatan Posisi
Kekuatan yang dimiliki seseorang karena posisinya dalam suatu kelompok. Misalnya seorang atasan yang memiliki kekuasaan untuk meminta stafnya mengerjakan sebuah laporan.
b.      Kekuatan Pengetahuan
Kekuatan yang dimiliki seseorang karena ilmu atau pengalaman yang dimilikinya. Misalnya seorang dosen dapat memberikan nilai baik atau buruk atas tugas mahasiswanya karena ia memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dibanding mahasiswanya.
c.       Kekuatan Hubungan
Kekuatan yang dimiliki seseorang karena memiliki hubungan ataunetworking dengan pihak lain yang dapat mendukungnya. Misalnya seorang Public Relations yang memiliki hubungan baik dengan wartawan sebuah media. Ketika perusahaan tempat PR tersebut digoncang isu negatif yang dapat diketahui publik, atas hubungan baiknya dengan wartawan ia dapat meredam berita tersebut sehingga tidak sempat dimuat di media. Contoh lain adalah seseorang yang direkrut sebuah perusahaan karena hubungan keluarga yang dimilikinya dengan pemilik perusahaan.
d.      Kekuatan Tugas
Kekuatan yang dimiliki karena tugas-tugas yang diberikan kepadanya, baik terlegitimasi ataupun tidak. Misalnya seorang polisi dapat memberikan surat tilang kepada pengemudi yang melanggar aturan lalu lintas, atau seorang sekretaris yang dapat mengatur jadwal atasannya setiap hari.
e.       Kekuatan Kepribadian
Kekuatan yang dimiliki seseorang karena sifat-sifat (kepribadian) yang melekat padanya. Misalnya seorang salesman yang memiliki kepribadian terbuka (ekstrovert) dan pandai berbicara tentu akan lebih mudah mempengaruhi calon konsumennya dibanding salesman yang memiliki pribadi pendiam dan tertutup.
3. Bekerja sama untuk mencapai sukses
Kerja sama adalah salah satu keterampilan yang harus dimiliki setiap orang agar mampu bertahan dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial. Pada lingkungan pekerjaan, kerja sama merupakan hal yang mutlak dilakukan agar tujuan dapat tercapai maksimal. Agar kerja sama terjalin dengan efektif, perlu adanya rasa saling memahami antara sesama rekan kerja, terutama antara atasan dan bawahan, sehingga tercipta suasana kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi kedua belah pihak. Untuk mendapatkan kerja sama yang baik, seseorang harus tahu terlebih dahulu bagaimana kemampuan dan komitmennya terhadap pekerjaan, dan apa yang harus dilakukan pemimpin terhadap hal tersebut.

Jika kita kembali mengingat sejarah umat manusia, maka kita tentu ingat bahwa dengan kecerdasan hakiki yang dimilikinya Adam dinobatkan sebagai pemimpin bagi makhluk-makhluk yang lainnya.Hal ini menegaskan bahwa kecerdasan hakiki itu sangat erat kaitannya dengan tugas dan peran manusia sebagai pemimpin. Masalahnya, tidak semua orang berada dalam posisi atau jabatan sebagai pemimpin. Jadi,bagaimana kita bisa begitu yakin bahwa misi hidup yang kita emban itu adalah untuk menjadi pemimpin? Lagi pula, jika semua orang jadi pemimpin maka siapa yang akan dipimpin?
          Kita sering keliru mengira bahwa kepemimpinan itu selalu berkaitan dengan jabatan atau kedudukan.
Padahal, kepemimpinan yang sesungguhnya erat kaitannya dengan misi kita untuk memimpin diri sendiri atau yang biasa kita sebut sebagai self leadership. Setiap pribadi adalah pemimpin. Setidak-tidaknya menjadi pemimpin bagi diri sendiri, supaya jangan sampai gagal menjalani hidup. Untuk itulah pentingnya kecerdasan hakiki bagi setiap pribadi.
          Seseorang tidak mungkin bisa memimpin orang lain jika dia tidak mampu memimpin dirinya sendiri.
Memang banyak pemimpin hebat bagi orang lain, tetapi hidupnya sendiri berantakan. Jadi, kelihatanya seseorang tidak harus mampu memimpin dirinya sendiri untuk bisa memimpin orang lain. Itu benar jika hanya berbicara soal kepemimpinan yang semu. Namun jika berpijak kepada prinsip kepemimpinan sejati tentu tidak akan berpikir demikian. Apa ciri kepemimpinan semu itu? Misalnya kita masih sering merasa hidup ini hampa. Mengapa hampa? Karena, rasa hampa ditimbulkan oleh perasaan tidak berguna. Setiap manusia dilahirkan dengan sebuah misi untuk menjadikan hidupnya berarti. Sementara itu, kehampaan tidak bisa menghampiri mereka yang mampu memberi arti kepada orang lain atau lingkungan tempat dirinya berada.
          Berpijak pada prinsip ini, maka kita bisa mengetahui ciri kepemimpinan sejati, yaitu ketika merenung sendirian,
kita menemukan jejak yang menunjukan bahwa kita bisa memberi arti bagi orang lain atau dunia yang kita tinggali. Kecerdasan hakiki bisa membantu kita memberi arti secara maksimal.
          Karyawan yang memiliki kecerdasan hakiki tinggi pasti bisa memahami tanggung jawab profesinya, bersedia meleburkan diri dengan tuntutan, dan konsekuensi profesi yang dipilihnya, serta berkomitmen untuk mempersembahkan prestasi terbaiknya.  (Kutipan dari buku "Natural Intelligence Leadership")

1 comment:

  1. yang ngutip dari buku Natural Intelligence Leadership itu cuma terakhirnya aja apa semuanya?

    ReplyDelete